Sunday, March 18, 2007

Kompas/adi prinantyo
BERMULA dari kesulitan mendapatkan alat peraga Taman Kanak-kanak (TK) dan playgroup-saat aktif sebagai guru playgroup pada 1998 lalu-pasangan suami istri Agus Amperawan (35) dan Lies Handayani (32), kini justru menjadi usahawan pembuat 25 jenis alat peraga pendidikan. Mulai dari puzzle, yakni alat peraga untuk memadukan gambar yang terpisah-pisah, sampai sejumlah alat seperti, alat peraga rambu-rambu lalu lintas dan merjan (alat untuk mengenali warna).
Awalnya kami berdua ini guru," kata Agus kepada Kompas, Minggu (1/7), di rumahnya yang sekaligus bengkel usaha "Anak Pintar Production", Desa Batangsaren, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur (Jatim).
Kisah kehidupan guru yang ekonominya kembang-kempis, sudah mereka jalani sejak awal 1990-an. Apalagi, keduanya adalah guru sekolah swasta, tepatnya guru SMU dan SLTP Taman Siswa di Tulungagung.
Sampai-sampai, untuk memperkuat ekonomi rumah tangga, Lies mengaku pernah menyambi menjadi pedagang sate. "Jadi, kalau siang hari saya ngajar, malam harinya jual sate. Kalau besoknya mau ada ulangan, mesin ketik pun saya bawa ke warung sate," kisahnya.
Hingga pada suatu saat, pada pertengahan 1998, keduanya diajak seorang tokoh pendidik di Batangsaren, untuk mendirikan Yayasan Mardisiswa, sekaligus lembaga pendidikannya yakni Taman Mardisiswa.
Dari situlah "pintu" terkuak. "Sebab, ketika mengajar di Mardisiswa, saya betul-betul kesulitan mencari alat-alat peraga. Saya cari di semua toko di Tulungagung, bahkan sampai di Kediri, tidak ada yang menjual. Dari situ naluri bisnis kami muncul, dan memang inilah peluang besar," tutur Agus.
Bermodal Rp 30.000, Agus yang juga pernah bekerja sebagai petugas sales, mulai memproduksi beberapa alat peraga. Di antaranya puzzle (alat untuk permainan memasang-masangkan gambar), dan merjan, yaitu butiran bola-bola kecil untuk latihan anak mengenali warna.
Uang Rp 30.000 itu, digunakannya untuk membeli bahan baku berupa partikel (papan seperti tripleks, dibuat dari limbah gergajian kayu yang dipadatkan), dan beberapa kaleng cat. Tidak adanya pesaing untuk bisnis serupa di Tulungagung, membuat alat peraga buatan Agus, laku keras.
Alat-alat yang rata-rata dibuatnya dalam tempo tiga hari, langsung habis dalam sehari. "Sejak itulah kami disibukkan oleh banyaknya pesanan alat-alat peraga untuk TK dan playgroup, terutama di Tulungagung," ujar Agus lagi. Lambat laun, karena kesibukannya di unit usaha "Anak Pintar Production", ia dan istrinya pun mundur dari pekerjaan sebagai guru.
***
KINI, di usia bisnisnya yang telah tiga tahun, omzet pemasaran alat peraga milik Agus-Lies, mencapai Rp 5 juta per bulan. Wilayah pemasaran produk "Anak Pintar Production", juga tak hanya berkutat di Tulungagung. Tetapi sudah mulai merambah Kediri, Blitar, Nganjuk, Jombang, Ponorogo, Trengga-lek, Pasuruan, Gresik, Lamongan, dan Mojokerto. Berbagai kota di Jatim itu, "dijelajahi" tiga petugas sales.
Agus mengungkapkan, unit usahanya menerapkan sistem harga jual minimal untuk merangsang kerja para awak pemasarannya. Misalnya, untuk sebuah produk, ia memberi harga pokok Rp 5.000 pada salesnya. Kemudian, ditetapkan pula harga jual minimal, misalnya Rp 10.000.
"Dengan adanya harga jual minimal, sales sudah punya keuntungan pasti. Seperti contoh tadi, untuk satu produk, dia sudah pasti mengantungi Rp 5.000. Jadi, kalau dia berhasil menjual di atas harga minimal, ya lebih baik. Keuntungan punya dia semua," ucapnya lagi.
Selain mempekerjakan tiga petugas sales, di bengkel sederhananya di samping rumah, pasangan Agus dan Lies juga menjadi atasan dari delapan pekerja pembuat alat peraga. Kedelapan pekerja itu digaji Rp 10.000 per hari.
Jika si pekerja hadir terus dalam enam hari kerja, Agus memberi perangsang Rp 10.000. Sehingga, jika seorang pekerja rajin, ia berhak atas upah Rp 70.000 per minggu. Insentif Rp 10.000, dimaksudkan agar para pekerja terus hadir tiap hari.
Perangsang seperti itu penting, karena mental pekerja yang masih angin-anginan. "Anda bisa cek. Kalau Senin, yang bekerja cuma tiga. Yang lain absen tanpa alasan jelas, tetapi katanya, karena kecapekan setelah liburan hari Minggu. Lain kalau hari Sabtu. Semuanya datang, karena ingin ada modal untuk malam Mingguan," tuturnya sembari tertawa.
Melihat cerahnya prospek bisnis alat peraga pendidikan ini, keduanya sudah mantap untuk menjadikannya sebagai sandaran hidup untuk seterusnya। "Kelihatannya ini yang paling cocok. Terutama cocok untuk pendapatannya," tambah Agus lagi, setengah berkelakar. (Adi Prinantyo)
Mengajarkan Matematika dengan ”Sampah”Oleh FISKA ARYANI

Penulis, instruktur/pengajar di lembaga pendidikan anak "Spirit Camp" dan mahasiswa Program Studi Matematika ITB
Mencongak dengan Metris
Seorang dosen menemukan metode aritmatika baru yang lebih mudah dan
cepat. Mengatasi kelemahan Sempoa.
DUA jagoan matematika itu berdiri berjejer di depan papan tulis.
Lawan mereka terpampang di depan mata masing-masing: dua buah soal
perkalian kuadrat. Mereka harus adu cepat menyelesaikannya dengan
metode perhitungan berbeda.
Dalam dua menit, pemenangnya tampak. Gung Kinaptyan, juara kelas VI
Sekolah Dasar Regina Pacis, Bogor, tersenyum sambil mengibaskan sisa
kapur di tangannya. Teman sekelasnya, Samuel Wirajaya, pemenang
kompetisi matematika terbuka tingkat SD se-Jabodetabek, masih
berkutat menyelesaikan soal.
Kamis pekan lalu, guru mereka, Fransiska Ephi Sutisna, ingin
membuktikan bahwa ada cara lain untuk menghitung perkalian selain
cara tradisional, yaitu dengan mengalikan dari atas ke bawah, lalu
menjumlahkannya, yang sudah puluhan tahun diajarkan di sekolah.
Itulah cara yang dipakai Gung, dengan mengurutkan secara mendatar
dari kiri ke kanan.
Ternyata, kata Ephi, "Metode yang dipakai Gung memang lebih cepat."
Siswa-siswi SD Regina Pacis menyebut metode itu Metris alias Metode
Horisontal. Sudah setahun terakhir Ephi mengajarkan metode mencongak
dari kiri ke kanan seperti itu kepada murid-muridnya. Metode baru
itu ia pelajari saat kuliah di Fakultas Ilmu Keguruan, Universitas
Katolik Atma Jaya, Jakarta, tahun lalu. Lantaran ia menganggap
metode ini lebih cepat dan mudah dipahami, ia melakukan uji coba
pada murid-muridnya.
Metris awalnya digagas oleh Stephanus Ivan Goenawan, 32 tahun, dosen
Fakultas Teknik Mesin, Unika Atma Jaya, Jakarta. Ivan tergerak
menyusun Metris karena melihat keterbatasan metode lama. "Metode itu
hanya mengembangkan kemampuan analisis yang lebih meletakkan
landasan kemampuan numeris dan logika pada siswa," ujarnya. Alhasil,
proses pengajaran dengan metode vertikal hanya mengembangkan kerja
otak kiri saja. Sedangkan Metris bisa berfungsi untuk membentuk
mental aritmatika yang merangsang kreativitas.
"Kedua metode sebenarnya saling bersinergi kalau diterapkan," kata
Ivan. Dengan menggunakan Metris, para siswa tak hanya mempunyai
kemampuan numeris dan logika, tapi juga memiliki kepercayaan diri
dan daya kreativitas tinggi.
Metode yang amat membantu siswa ini adalah buah kegemaran Ivan yang
senang bereksperimen menyelesaikan soal-soal aritmatika sejak di
bangku SMP Bruderan, Purworejo, Jawa Tengah. Ketika itu ia kerap
mencari jalan sendiri karena tak pernah puas dengan cara gurunya
menjawab soal. Dalam pencarian, ia menemukan banyaknya keteraturan
angka dalam setiap soal yang diberikan gurunya. "Sejak itu saya
mulai menggunakan segitiga paskal dan notasi pagar, sebagai cara
menyelesaikan masalah," ujarnya.
Ketertarikan pada aritmatika pula yang membuat Ivan memilih kuliah
di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah
Mada. Enam tahun lalu, Ivan mulai merumuskan metode arimatika
horizontal secara sistematis. Tonggaknya adalah artikelnya yang
diterbitkan di jurnal internal Unika Atma Jaya. Tulisan itu menarik
perhatian sejumlah koleganya di Jurusan Matematika FKIP universitas
tersebut. Ia kemudian diundang untuk berbicara dan mendiskusikan
metode itu.
Metode yang masih bersifat teoretis itu sempat terbengkalai lantaran
Ivan harus menyelesaikan studi S-2 di Institut Teknologi Bandung. Di
Bandung pula ia beruntung berjumpa Alexander Agung, 28 tahun, sesama
penggemar matematika. Bersama kawan kuliahnya itu ia menyusun modul
praktis pengajaran Metris. pada 2005, begitu modul itu rampung, Ivan
dan Alexander menggelar pelatihan bagi para guru SD dan SMP.
Sebelumnya, mereka sempat mempresentasikan metode tersebut ke
sejumlah dosen di FMIPA UI. Hasilnya? "Metode itu diterima sebagai
sebuah metode pembelajaran baru yang menarik untuk aritmatika," kata
Alexander yang juga dosen di STEKPI, Jakarta selatan.
Melalui situs http://sigmetris.com , kedua sahabat itu
memasyarakatkan temuan tersebut. Mereka juga menggelar sejumlah
pelatihan bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA. Sejauh ini, metode itu
baru diterapkan di SD Regina Pacis, Bogor. Beberapa sekolah lain
segera menyusul setelah pada Desember ini mereka menggelar pelatihan
untuk guru-guru SD. "Tahun depan baru direncanakan kursus bagi anak-
anak," ujar Alexander.
Sekilas metode ini mirip Sempoa, metode berhitung kuno yang
menggunakan alat hitung dari Cina. Sempoa termasuk populer di
Indonesia karena mengandalkan kecepatan berhitung. Menurut
Alexander, Sempoa dan Metris memiliki kesamaan, yaitu mencapai tahap
perhitungan mental aritmatika dan mengandalkan konsep asosiasi
posisi. Bedanya, dalam Metris konsep asosiasi posisi dipelajari
secara langsung dengan mengenalkan konsep asosiasi posisi dengan
notasi pagar kepada para siswanya. "Sempoa memiliki alur sendiri dan
tak sama dengan pendidikan sekolah, sementara Metris disesuaikan
dengan program pelajaran sekolah," ujarnya.
Perbedaan yang lain, menurut Alex, Metris membuat anak bisa
menjelaskan langkah yang diambil dengan memakai simbol matematika
seperti yang digunakan di sekolah pada umumnya. Sedangkan Sempoa
tidak. Sempoa, menurut Ivan, membuat anak cenderung individual dan
lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses.
Siswa yang ikut Sempoa kerap tak bisa menjelaskan proses perhitungan
yang dilakukannya kepada orang lain. Penyebabnya lantaran dia tidak
memakai simbol matematika yang diformalkan. Alat peraga berupa manik-
manik biasanya cuma bersifat sementara. "Dalam prakteknya, ia harus
memvisualisasikannya dalam imajinasi, dan tak semua anak bisa
seperti itu," kata Ivan.
Fakta ini kerap menimbulkan kesalahpahaman. Orang tua sering
menyalahkan guru karena menilai jawaban anaknya salah. Guru biasanya
berkukuh karena tidak tahu apakah jawaban itu buah pikir si anak
atau hasil menyontek. Soalnya, si anak tak bisa menjelaskan
prosesnya. Maka, kata Ivan, "Penggunaan Metris bisa menjadi jembatan
antara Sempoa dan metode vertikal yang dikembangkan sekolah."
Di SD Regina Pacis, percobaan menggunakan Metris sejauh ini berhasil
mengubah citra matema-tika yang menyeramkan. Dalam percobaan, para
murid awalnya diminta menyelesaikan soal aritmatika dasar dengan
metode lama, yaitu perhitungan dari atas ke bawah. Setelah itu,
mereka diberi soal yang harus diselesaikan dengan Metris. Ternyata
para murid bisa mengerjakan soal dengan lebih cepat dan akurat.
Secara perlahan nilai mereka pun membaik. Tak mengherankan bila
mereka kini menjadi lebih antusias terhadap matematika. "Mereka
menyukainya karena lebih cepat dan mudah," ujar Ephi.
Beberapa siswa yang dulu fobia alias takut terhadap pelajaran
matematika kini berbalik. Maria Yohana salah satunya. Nona kecil ini
dulu selalu grogi bila pelajaran matematika tiba. Setiap kali ada
ulangan matematika dadakan, nilainya tak lebih dari angka 6. Kini,
semua itu tinggal cerita. Nilai 10 telah biasa ia terima. Maria
bahkan sudah berani mengacungkan tangan, menawarkan diri untuk maju
ke depan kelas untuk mengerjakan soal yang diberikan guru.
Siswa yang berbakat matematika kini juga semakin kreatif
menyelesaikan soal. Beberapa anak menciptakan rumus-rumus sendiri
untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Begitu sukanya mereka
pada matematika sampai-sampai meminta guru mendirikan klub
matematika di sekolah. "Saya membiarkan mereka berkreasi
menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri. Asalkan logika
berhitungnya benar," ujar Ephi.
Widiarsi Agustina dan Arif Fadillah
Belajar Matematika Versi Siradjudin
MATA pelajaran Matematika merupakan momok. Alasannya, mungkin karena harus bergelut dengan angka-angka dan rumus-rumus yang njelimet.
SEMENTARA itu, pola pengajaran Matematika yang ditempuh para guru sekolah dasar (SD) umumnya cenderung statis dan rutin, seperti peserta didik diminta mengerjakan soal-soal yang sudah tersedia pada buku pegangan siswa. Guru tinggal memberi nilai berdasarkan "benar atau salahnya" hasil jawaban yang dikerjakan para siswa.
Namun, Siradjudin, warga Kompleks Perumnas Tanjung Karang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), punya cara khusus membuat pelajaran Matematika disenangi oleh para siswanya. Caranya, Kepala Sekolah SD 43 Mataram ini membuat alat peraga sederhana, tidak membosankan, dan siswa merasa sedang bermain sambil belajar.
Dari alat itu Siradjudin menanamkan konsep dasar "operasi hitung pengurangan, penjumlahan, dan perkalian" kepada para siswa dengan titik tekan bukan pada hasil, melainkan proses mendapatkan hasil akhir "mengurangi, menjumlah, dan mengalikan angka".
"Memang belajar Matematika itu perlu daya tarik agar siswa tidak bosan dan lebih aktif sebagai salah satu sasaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Karena itu, saya coba membuat media penarik berupa alat peraga. Omong kosong bicara KBK kalau tidak ada medianya," ujar Siradjudin.
Alat bantu praktik itu disebutnya Arena Kuda Loncat Bilangan. Wujudnya berupa sebuah kayu-mirip mistar-yang diberi skala 0 sampai 15 dan dari 0 hingga minus 15. Alat tersebut dilengkapi dengan boneka kuda ukuran buah catur yang bisa digeser ke kiri dan kanan pada kayu berskala, lalu diberi tiang dudukan pada dua ujung kayu tadi.
Arena Kuda Loncat Bilangan dipakai untuk belajar "operasi hitungan pengurangan" atau "operasi hitungan penjumlahan". Untuk menghitung (-3) - (-4), misalnya, langkah yang ditempuh adalah menentukan arah loncatan kuda, dengan melihat bilangan kedua. Karena bilangan kedua negatif, seperti contoh di atas, kuda diarahkan ke kiri dan ditaruh pada titik minus tiga digeser empat langkah dan berhenti pada angka minus tujuh.
Adapun bila soalnya (-3) + (-4), kuda diarahkan ke kanan, dimulai pada minus tiga kemudian melangkah empat kali dan berhenti pada titik satu. Titik pemberhentian adalah hasil akhir penjumlahan dan pengurangan.
Untuk perkalian (-3) x (-4), kuda dihadapkan/melangkah ke kanan. Empat kali melangkah dihitung satu kali. Mengacu soal itu, berarti kuda itu melangkah tiga kali, diawali dari titik nol dan berhenti di titik 12, yang merupakan hasil akhir perkalian tadi.
Alat bantu lain disebutnya Arena Mobil-mobilan, berupa papan tripleks yang dilengkapi rumah-rumahan, garase yang bagian atapnya ada bilangan perkalian (5 x 3, 2 x 4, dan lain-lain), kemudian sejumlah mobil-mobilan dari kayu diberi nomor yang merupakan hasil perkalian. Untuk memainkannya, mobil-mobilan awalnya ditaruh di ruang parkir umum, lalu siswa diminta menjalankannya melalui jalur yang sudah ada, dan diparkir pada rumah/garase yang sesuai dengan bilangan perkalian. Katakanlah mobil nomor 18, maka rumah/garase tujuannya adalah 9 x 2.
"Sasaran alat peraga itu adalah bagaimana agar siswa mengerti dan memahami proses, bukan hasil akhir," kata Siradjudin.
Pentingnya sebuah proses dilukiskan pada seorang anak yang berjalan di malam gelap lalu tiba-tiba mengetahui dirinya tiba di lokasi sebuah mal. Saat disuruh kembali sendiri ke mal, si anak tidak tahu dari mana mulai langkah awal.
"Lain halnya jika sejak awal si anak diberitahu bagaimana proses ke mal, seperti naik bemo atau naik ojek, jalurnya ini, ongkosnya sekian. Metode seperti itu umumnya tidak diajarkan dalam pelajaran Matematika."
DENGAN alat itu, siswa yang benci pelajaran Matematika menjadi senang. Misalnya, di SD 43 Mataram para siswa diberi jatah untuk "memainkan" alat- alat itu. Juga dengan alat itu siswa bisa menyelesaikan lima soal dalam tempo 10 menit. Tuturnya, "Kalau kami tidak hentikan, mereka terus bermain dengan alat itu."
Hal itu berbeda jika siswa diminta mengerjakan soal tanpa alat bantu. Katanya, "Lima soal dalam waktu 30 menit, hanya 10 persen dari total siswa yang bisa menyelesaikan seluruh soal, sisanya cuma mampu mengerjakan tiga soal."
Alat itu digunakan untuk Kelas III hingga Kelas VI, sedangkan untuk Kelas I dan II ada alat bantu lain yang disebut Dekak-dekak Roling-mirip alat hitung sempoa-dan Planel Perkalian. Melalui alat-alat tersebut, Siradjudin mendapat Anugerah Teknologi Terapan untuk Kategori Pengembang dan meraih hadiah Rp 4 juta dari Pemerintah Provinsi NTB. Ia menerima hadiah itu pada Peringatan Hari Ulang Tahun Provinsi NTB tahun 2003.
Karya temuannya itu diciptakan mulai tahun 1999 dan lewat serangkaian uji coba, alat itu disempurnakan awal 2003 dan meraih penghargaan. Malah beberapa SD sudah membeli temuannya itu-yang kini dalam proses mendapatkan hak cipta-yang dijual Rp 520.000.
Semula Arena Kuda Loncat Bilangan dibuat amat sederhana, malah boneka kuda sebagai pelengkap alatnya semula berbentuk kodok ataupun dinosaurus.
"Biar gampang diingat saya pakai kuda saja sebab NTB juga ’gudang’ ternak kuda," kata ayah dari Candrahadi Kusuma (mahasiswa Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Suryahadi Kusuma (mahasiswa Institut Teknologi Surabaya), dan Ardian Kusumawati (siswi kelas III SMP II Mataram) ini.
Acap kali pula Siradjudin mendapat ilham dari fenomena sekitar. Sebutlah mainan mobil-mobilan tadi. Suatu saat dia melihat anak-anak senang membeli makanan ringan yang ada bonusnya berupa mobil-mobilan dari plastik. Mereka, sambil meniru deru mesin mobil, tampak asyik memainkan mobil-mobilan. "Saya berpikir bagaimana agar permainan itu bermanfaat," ucapnya.
Boleh dibilang ketekunan Siradjudin pada Matematika dilatarbelakangi oleh upaya menghindari kerasnya pendidikan yang dilakukan gurunya.
"Siapa pun yang tidak bisa mengerjakan soal berhitung, maka harus siap dipukul pakai garisan kayu," ujar lelaki kelahiran 12 Juni 1955 di Desa Lido, Kecamatan Belo, Bima, Pulau Sumbawa। Hebatnya, lulusan Sekolah Pendidikan Guru (1974) dan alumnus IKIP Mataram (1988) ini mengongkosi sendiri seluruh biaya penelitiannya. (KHAERUL ANWAR)
MATEMATIKA SULIT, TAK MESTI HARUS LES!
Bagi sebagian murid sekolah, matematika dianggap pelajaran sulit, meskipun tidak sedikit yang menyenangi pelajaran ini. Kalau kebetulan anak kita termasuk murid yang kesulitan dalam matematika, maka kita lah yang harus belajar. Sebab, les atau kursus belum tentu tepat untuk membantunya.
Meski tidak semua, banyak di antara murid sekolah, terutama SD yang merupakan tingkat dasar dari seluruh pendidikan yang akan dijalani anak, mengeluhkan soal pelajaran matematika. Mereka menganggap matematika sebagai pelajaran sulit. Terlebih lagi bila mereka mendapat nilai di bawah rata-rata. Yang punya niat akan lebih tekun mempelajari, kembali hilang semangat.
Celakanya, kalau keadaan ini terus berlanjut hingga ke jenjang pendidikan berikutnya. Maka, sepanjang masa pendidikan mereka menganggap matematika menjadi pelajaran paling menyeramkan.
Padahal, matematika sebenarnya pelajaran mengasyikkan. Apalagi, untuk murid SD. Pada tingkat pendidikan dasar ini pelajaran matematika masih berkenaan dengan berhitung, yang merupakan bagian dari matematika, yakni operasi tambah, kurang, kali, dan bagi. Mula-mula menggunakan bilangan bulat. Kemudian meningkat ke bilangan pecahan. Operasi hitung itu bisa dipelajarai sambil bermain yang memang merupakan kegiatan utama anak-anak.
Pada tingkatan lebih tinggi pun matematika tak perlu jadi momok. Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, pakar matematika dari Institut Pertanian Bogor (IPB), memberikan bukti. Setiap tahun ada tiga puluh murid terbaik dari setiap propinsi ikut seleksi olimpiade matematika. "Ini bukti mereka tidak takut matematika. Mereka malah senang matematika, meskipun ketika latihan di BP3G IPA di Bandung mereka diberi soal-soal sulit," tuturnya.
Kalau pun anak gagal mendapatkan nilai baik ketika pada awal-awal sekolah SD, orang tua tak perlu gusar. Kesempatan untuk meraih sukses masih ada. Bahkan, tak tertutup kemungkinan menjadi pakar matematika seperti yang dialami Andi Hakim. "Saya dulu belajar berhitung dari buku Bouwman en van Zelm di kelas satu HIS Ardjoena, yaitu pada triwulan pertama tahun ajaran 1937/1938. Nilai berhitung saya di rapor waktu itu empat. Sangking marahnya ayah saya hendak menukar otak saya dengan otak ayam percobaannya di kandang. Katanya, ayam betina lebih pintar berhitung dari pada saya. Ketika itu saya benci sekali terhadap pelajaran berhitung," cerita mantan rektor Institut Pertanian Bogor ini. Namun, yang terjadi kemudian, Andi Hakim menjadi pakar matematika.
Prakondisi kurang tepat
Matematika memang bukan berhitung, tetapi berhitung pasti matematika. Pasalnya, berhitung merupakan bagian dari matematika. Matematika sendiri merupakan ilmu struktur, urutan (order), dan hubungan yang meliputi dasar-dasar penghitungan, pengukuran, dan penggambaran bentuk objek. Ilmu ini melibatkan logika dan kalkulasi kuantitatif, dan pengembangannya telah meningkatkan derajad idealisasi dan abstraksi subjeknya.
Menurut Andi Hakim, matematika memang harus diajarkan sejak SD kelas satu. "Namun, bahan yang perlu diajarkan disesuaikan dengan daya cerna murid. Masalahnya, banyak sekali guru SD yang tidak memahami berhitung sekali pun, karena dia tidak menguasai teorinya, yakni matematika," jelasnya. Akibatnya, ada di antara muridnya tidak bersemangat, bahkan takut, pada pelajaran matematika.
Andi Hakim dan Henny Supolo Sitepu, seorang pendidik dari sekolah Al-Idhzar, menduga ketakutan anak itu besar sekali kemungkinannya karena si anak sudah diprakondisikan oleh orang tuanya yang menakut-nakutinya. "Kalau orang tua menganggap matematika sebagai momok, anak juga mempunyai anggapan yang sama," ujar Henny. Andi Hakim bahkan menyatakan ada guru yang menggunakan soal matematika untuk menghukum muridnya yang nakal. Lebih celaka lagi, sebagian masyarakat pun tidak memberikan apresiasi yang positif terhadap pelajaran matematika. "Saya pernah mengirimkan press release tentang prestasi pemuda Indonesia dalam Asia Pasific Mathematics Olympiad tahun 2000. Mereka memperoleh satu medali perak, lima medali perunggu, dan empat honorable mention. Tidak ada koran atau majalah yang mau memuatnya!," tutur Andi hakim memberi contoh. "Media lebih baik memuat pertanyaan mengapa perempuan, yang sedang dipenjara, bisa hamil dan siapa agaknya yang menghamilinya. Kita ini bangsa yang lebih suka mendengar sensasi daripada menyerap pengetahuan bermanfaat," tambahnya sedikit geram.
Belum lagi para pejabat yang berkompeten ternyata juga bukan orang tepat. Andi Hakim menceritakan, "Pada suatu ketika, sebelum berangkat ke olimpiade matematika internasional, seluruh regu peserta berniat ‘matur’ kepada menteri. Tetapi menterinya terlalu sibuk untuk masalah matematika. Akhirnya kami dipersilakan bertemu bawahannya, yang cukup tinggi kedudukannya, untuk mendapatkan ‘sangu’ sebelum berlaga di gelanggang internasional. Apa ‘sangu’nya? Dia bilang, dia paling bodoh mengenai matematika. Untung ada SMA bagian A, sehingga dia bisa lulus SMA. Kalau tidak begitu mana mungkin dia menjadi mahasiswa di universitas, menjadi sarjana, doktor, profesor, dan kemudian menjadi rektor. Kalau tidak pernah menjadi rektor, mana mungkin dia mendapat kedudukan bawahan menteri. Semua siswa yang akan berangkat tertawa. Tetapi saya merasa kena sindir, karena setelah saya berhenti jadi rektor, tidak mampu masuk eselon satu, cuma bisa mengantar siswa yang senang matematika ke olimpiade matematika."
Peran orang tua sangat penting
Lalu, bagaimana menyelamatkan anak dari atmosfer matematika yang sedikit "mendung"? Di sini peran orang tua menjadi sangat penting. "Orang yang lebih diharapkan untuk bisa diandalkan mengerti kebutuhan anak adalah orang tua, bukan guru. Orang yang diharapkan bisa diandalkan untuk tahu pintu masuk paling efektif dalam memberikan pemahaman apa pun, adalah orang tua. Orang yang harusnya mengerti gaya belajar anak adalah orang tua," tegas Henny.
Yang pertama dilakukan tentu mengubah persepsi matematika yang menakutkan itu menjadi menyenangkan. "Kalau matematika dipandang sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka pelajaran itu menjadi bagian kehidupan yang menyenangkan," tegas Henny. Orang tua juga mesti segera mengambil tindakan untuk membantu anak belajar matematika dengan cara menyenangkan. Caranya, dengan memberi contoh kongkrit, bukan yang abstrak. "Kongkritkan dulu dalam suatu benda yang mereka lihat. Berapa kali berapa menjadi berapa. Lalu latihlah dalam kehidupan sehari-hari," tambahnya. Memang, idealnya sekolah juga melakukan pendekatan sama yakni mencoba memberikan konsep-konsep itu secara kongkrit dan mencoba untuk memberikan latihan-latihan sesuai dengan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anak. "Yang jadi masalah, di sekolah 'kan tidak seperti itu. Karena itu, kita sebaiknya melakukan segala sesuatu dari hal yang bisa kita lakukan. Jangan melihat sesuatu dari yang tidak bisa kita lakukan," tutur Henny lagi.
Umpamanya, dengan mengamati lukisan karapan sapi. Dalam karapan itu anak bisa menghitung berapa pesertanya, kalau setiap peserta ditarik dua ekor sapi, berapa jumlah seluruh sapinya. Contoh lainnya, kalau ada delapan orang hendak bepergian, kira-kira perlu berapa mobil sedan. Jawaban memang bisa macam-macam. Itu merupakan gagasan. Misalnya jawabannya satu mobil. Alasannya, ada yang dipangku. Lewat cara ini anak juga diajak berimajinasi dan bisa mempunyai berbagai pilihan.
Sementara, untuk anak yang kurang paham soal uang, anak diajari belanja sendiri ke warung. Ia membawa uang berapa, memperkirakan kembaliannya, menghitung di situ kembaliannya. Dengan cara macam itu kita membuat anak merasakan bahwa itu merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Atau, dengan membuatkannya uang-uangan dari potongan kertas dan diberi nilai 25, 50, 100, 500. dsb., sesuai dengan pecahan uang yang beredar. Sambil belajar anak sekaligus diajak bermain. Dengan cara seperti itu anak jadi lebih tertarik dan lebih paham masalah nilai uang, meskipun perlu waktu dan kesabaran.
Hal sama sebenarnya bisa pula dilakukan sekolah. Misalnya seperti yang di lakukan sekolah Al-Idhzar. Setiap akhir tahun diadakan acara bazar. Anak-anak diminta berjualan. Misalnya ada yang berjualan sirup. Contoh lainnya, suatu hari murid ditugasi menghitung temannya yang memakai kerudung. Berapa yang memakai kerudung putih, kerudung merah, dan kerudung hitam. Selanjutnya menjumlahkan semua murid yang memakai kerudung. Kalau, jumlah siswanya sekian, yang tidak pakai kerudung berapa?
Dalam membantu anak belajar matematika dengan cara tadi, maka peran alat peraga menjadi sangat besar, terutama untuk anak SD. Tidak perlu yang mahal. Henny mencontohkan penggunaan daun kering untuk menghitung luas suatu bidang tertentu. Dengan daun sebesar ini, berapa daun dibutuhkan untuk menutupi bidang tertentu. Atau dengan menggunakan kendaraan yang lewat di depan rumah. Dalam jangka waktu tertentu ada berapa kendaraan lewat? Berapa kendaraan roda tiganya, dan berapa roda empatnya? Jam berikutnya, dihitung lagi. Kemudian dalam seminggu bisa dilihat perbedaannya. Lalu dianalisis, kenapa pada hari Senin dan Jumat sangat ramai dan hari lain tidak terlalu. "Itu semua latihan logika dan matematika," jelasnya.
Jadi tidak perlu alat peraga istimewa dan mahal. Yang dibutuhkan kreativitas kita. Mula-mula dilakukan pendataan, apa saja yang bisa dipakai. Lalu kita mencoba memikirkan bagaimana mempergunakan potensi yang dimilikinya untuk memudahkan anak-anak belajar.
Dalam praktik, kalau kita mengikuti pelajaran matematika anak sejak awal, kita bisa mencari jalan apa yang harus kita lakukan di rumah untuk menerangkan suatu hal. Masalah akan menjadi rumit kalau kita tidak mengikutinya sejak awal. Memang pada saat yang diajarkan istilah-istilah, anak menjadi bingung. Namun bingung dalam istilah tidak berarti bingung dalam pemahamannya. Itulah yang tetap kita jembatani dengan mencarinya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mencari pemahaman dasar dalam kehidupan sehari-hari, maka matematika tidak akan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Les atau kursus belum tentu berguna
Sudah tentu orang tua zaman sekarang tidak boleh judeg atau putus asa. "Itulah risikonya menjadi orang tua. Jadi, mereka harus tetap berupaya. Konsep belajar seharusnya adalah konsep yang terus kita lakukan sampai kita mati. Sebaiknya, konsep itu dipahami dan dilakukan, bukan hanya diucapkan," tutur Henny mengingatkan.
Bisa saja orang tua mencoba membantu anak dengan cara meleskan atau mengkursuskan. Namun, menurut Henny, kita mesti tahu terlebih dahulu masalah yang dihadapi si anak. Jangan-jangan dia anak yang punya masalah diskalkuli; ada sesuatu yang membuat anak ini berpikir lain dalam soal penomoran. Atau mungkin anak ini tidak suka pada gurunya? Sehingga masalahnya lebih berhubungan ke emosi daripada yang lain. Mungkin juga anak ini sedang protes kepada orang tua. "Les atau kursus kita berikan kalau kita sudah tahu betul apa masalahnya," jelas ibu dua orang remaja ini.
Anak perlu dileskan kalau ia membutuhkan kontak satu-satu untuk tiba pada tingkat pemahaman. Kadang-kadang itu pun hanya pada topik-topik tertentu. Kalau demikian halnya, mungkin bisa dimintakan remedial. Guru atau orang tua menjelaskan topik-topik tertentu. "Jadi tidak perlu setiap saat dileskan. Karena dileskan itu, apalagi kalau terus tanpa kita tahu penyebabnya, bisa menyebabkan ketergantungan. Juga kita jadi tidak tahu seberapa jauh anak tertantang untuk mengembangkan dirinya," tambahnya.
Kursus pun belum tentu bisa membantu anak mencapai sasaran. "Saya pernah melihat stand salah satu metode pengajaran matematika di International Conference on Matematics Education tahun 1996 di Totonto. Isinya tidak lain adalah landasan teori matematika untuk mengajarkan berhitung. Jadi sebenarnya pesertanya cuma belajar landasan teorinya," jelas Andi Hakim.
Melihat plus-minus kursus yang berkaitan dengan matematika, Henny menyarankan orang tua untuk mempertimbangkan betul kegunaan kursus-kursus itu bagi anaknya dan bagaimana perkembangan anaknya secara menyeluruh. Anak itu membutuhkan banyak perkembangan.
Sementara untuk orang tuanya, dalam pandangan Henny, forum untuk sharing, adalah tempat yang tepat. Tidak perlu formal, yang penting bisa menjadi kumpulan orang tua dengan minat sama, kebutuhan sama, dan bisa berbagi. Mungkin pada saat berbagi itu ditemukan lebih banyak gagasan. Tidak hanya dalam hal matematika, tetapi berbagai hal, termasuk bagaimana mengatasi kesulitan belajar.
Memang, forum semacam ini belum terdengar ada। Namun, di Singapura sudah ada lembaga formal yang secara berkala menggelar lokakarya untuk membantu orang tua yang memiliki anak bermasalah dalam hal matematika. Ini menggambarkan, bila anak mengalami kesulitan belajar matematika, orang tua lah yang mesti belajar. (I Gede Agung Y./Anglingsari Saptono)
CD Pesona Matematika dan Fisika : Membuat Pelajaran Sulit Jadi Mengasyikkanmer
Para siswa kini tidak perlu lagi takut dengan pelajaran matematika atau fisika. Sebab kedua bidang studi yang kerap jadi momok ini sudah bisa disajikan dengan menyenangkan. Dengan software yang dikemas dalam bentuk compact disc (CD), semua teori dan rumus-rumus matematika yang memusingkan kepala bisa dipaparkan dengan bantuan gambar, animasi, bahkan suara-suara menarik. ”Banyak hal yang tidak bisa dijabarkan dengan alat peraga konvensional yang bisa disimulasikan sehingga siswa tertarik menyimak. Semua hal-hal sulit bisa dipaparkan dengan mudah dan simpel,” jelas Ir.Bambang Yuwono, direktur PT Kuantum Inti Dinamika, produsen CD ini, kepada SH di sela peluncuran CD tersebut di Jakarta, Rabu (30/7).
Sistem belajar dengan melibatkan komputer yang disebut dengan Computer Assisted Instruction (CAI) dan Computer Assisted Learning (CAL) ini memang sudah bukan hal baru lagi. Namun di Indonesia, masih sedikit software khusus yang disesuaikan dengan kurikulum. CD Pesona Matematika merupakan program penjabaran pelajaran matematika sesuai dengan kurikulum bagi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) kelas 1. Di sini dengan jelas dipaparkan ihwal bilangan, aljabar, persamaan linier satu variabel segitiga, dimensi tiga dan himpunan. Semua tersaji dengan animasi menarik sehingga siswa bisa dengan mudah menangkap apa yang diterangkan guru.
CD yang isinya dirancang oleh pakar matematika Djoko Waliadi ini baru dicetak satu seri dan akan disusul dengan seri berikut untuk kurikulum selanjutnya. Tersedia pula Pesona Matematika untuk kelas 1 Sekolah Menengah Umum (SMU) yang berisi paparan ihwal pangkat rasional dan akar, persamaan kuadrat, trigonometri, logika matematika, dimensi tiga, persamaan linier dan sebagainya.
Sebelumnya, telah diluncurkan pula CD Pesona Fisika yang khusus memuat seluk-beluk pelajaran fisika untuk kelas 1 SLTP yang terdiri dari 10 CD. Di sini pelajaran tentang pengukuran zat, teori partikel, tata surya dan sebagainya tersaji dalam gambar-gambar dan animasi yang tidak kalah dengan software pendidikan buatan luar negeri. Menurut Bambang, CD Pesona Fisika sudah diluncurkan sejak 2001 dan telah didistribusikan ke 175 sekolah di seantero daerah Indonesia. CD Pesona Fisika ini diedit oleh ahli fisika Indonesia, Yohanes Surya.
Bantuan Proyektor
Walaupun berbentuk CD, bukan berarti setiap siswa bisa belajar sendiri. Mereka tetap membutuhkan guru sebagai pendamping. Tidak semua sekolah di Indonesia mampu menyediakan komputer bagi setiap anak. Karena itu CD ini hanya sebagai pelengkap pembelajaran semata. Guru tetap diperlukan untuk memaparkan apa saja yang kurang bisa langsung ditangkap siswa. ”Jadi CD ini akan diputar di satu komputer dan diperbesar dengan proyektor di depan kelas, sehingga bisa dinikmati bersama-sama,” ujar Bambang. Berarti, dalam satu sekolah kebutuhannya bisa dipenuhi hanya dengan satu copy CD saja. Syaratnya, mereka harus memiliki komputer dengan prosesor Intel Pentium IV- 2 GHz dan satu unit Large Screen Proyector 1100 Lumens, SVGA. Namun bagi sekolah yang mampu bisa menyediakan seperangkat server Personal Computer (PC) dan Client dalam jaringan Local Area Network (LAN). Dan tentu saja mereka harus memiliki seri CD ini.
Bambang menuturkan, saat ini memang banyak sekali CD pendidikan yang beredar di masyarakat, namun belum ada yang materinya disesuaikan dengan kurukulum. Terlebih lagi CD tersebut tidak mempunyai jaminan pasti apakah content atau isi materinya bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan CD Pesona Fisika dan Matematika ini, diklaim Bambang, benar-benar ditangani oleh para ahlinya.
Sumber : Sinar Harapan (1 Agustus 2003)
ROMO MANGUN: Bermainlah, Bertanyalah, dan……Cerdaslah
Pelajaran di SD tidak perlu terlalu banyak. Yang penting pendidikan sikap kritis, inovatif, dan eksploratif. Caranya, biarkan siswa banyak bertanya.
Sebenarnya sudah sejak tahun 1987, Pastor Y.B. Mangunwijaya Pr (Alm.) mulai menerjunkan diri dalam pendidikan dasar. la mengawalinya dengan mendirikan kantor dan laboratorium pendidikan yang diberi nama Dinamika Edukasi Dasar (DED) di lahan seluas 600 meter persegi di Jl. Kuwera Mrican. Namun, gara-gara geger Waduk Kedung Ombo, perhatian Romo Mangun - sapaan sehari-hari - terpecah. Baru tahun 1989, ia memberikan perhatian penuh lagi.
Mengapa pendidikan dasar? Mengapa bukan pendidikan menengah (setingkat SLTA) atau pendidikan tinggi? Pengertian Romo Mangun terhadap pendidikan dasar hanya Sekolah Dasar, tidak termasuk SLTP seperti terminologi pendidikan dasar pemerintah.
Hari depan bangsa, menurut Romo Mangun, terletak pada generasi muda. Dan generasi muda harus dididik, dipersiapkan sebaik-baiknya sejak awal. Pada pendidikan Sekolah Dasar-lah, persiapan pembentukan itu dirintis.
"Pendidikan dasar merupakan variabel penting yang mesti dipersiapkan manakala berbicara tentang masa depan. SD adalah fondasi sistem pendidikan, malah sering dilupakan orang. Biarlah pendidikan tinggi brengsek awut-awutan, namun kita tidak boleh menelantarkan pendidikan SD," kata Romo Mangun tahun 1994 seusai merayakan ulang tahunnya ke-65.Saking prihatinnya melibat pendidikan SD sekarang, sampai-sampai Romo Mangun terobsesi menjadi guru SD.
Menurut Romo Mangun amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa belum dilaksanakan. Memang ada pendidikan dasar 9 tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SLTP) tetapi tujuannya semata-mata bukan itu.
Menjadi bangsa yang cerdas, menurut Romo Mangun tidak sekadar pintar, pandai, mahir, terampil, cerdik atau lihai. Bisa saja kombinasi antar sifat-sifat itu (dengan mengecualikan sifat lihai). Tetapi cerdas adalah kemampuan menembus kulit pengetahuan gejala-gejala sehingga sampai ke dalam esensi persoalan, inti problem. Kecerdasan sangat dekat menjadi modal alami menuju kearifan. "Pencerdasan kehidupan bangsa, sekarang menjadi mata rantai yang paling lemah," tulis Romo Mangun dalam Menuju Republik Indonesia Serikat.
Di satu sisi dasar yang membentuk kecerdasan bangsa berawal dari pendidikan sikap saat para anak bangsa dalam pendidikan dasar. Sedangkan di sisi lain, banyak ha] yang memprihatinkan dalam pendidikan dasar.
Yang praktis saja soal ranking. Dengan dasar ranking, anak-anak SD sudah terbiasa dengan pola kompetisi. Dan, anak yang rankingnya rendah, secara otomatis dicap anak bodoh. Dengan sistem ini pola hidup kerja sama juga tidak berkembang dan juga anak kreatif yang lemah dalam pelajaran langsung diberi kategori nakal, dsb. Untuk menembus ranking yang bagus, tak jarang anak-anak SD harus ikut les ini itu atau kursus. Hanya demi ranking.
Juga soal kurikulum yang dibuat bukan untuk kepentingan anak. Kurikulum sekarang tidak untuk kepentingan anak sendiri. Yang penting anak lulus, entah mampu atau tidak. Lulusan SD dianggap sebagai sumber daya manusia (SDM). Atau untuk kepentingan politik terientu, bahwa yang lulus SD sudah banyak sehingga memberikan kesan bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa terdidik.
Romo Mangun pernah memberikan contoh. Para siswa SD di Pulau Banda malah tidak diajarkan tentang pelayaran dan perikanan. Padahal hasil ikan di pulau itu melimpah ruah. Atau anak diajari mengerti teleskop, mikroskop, sedang mereka sendiri tidak pemah melihat penggunaannya sehari hari.
Menurut pengamatan St. Sularto -yang rnengamati visi pendidikan Romo Mangun lewat tulisannya di flarian Kompas- mengemukakan sistem pendidikan Romo Mangun memberikan hal yang mendasar bagi anak. Misalnya, "Anak dibiasakan bertanya, mengeksplorasi pengetahuan, dan dibiasakan kreatif," ungkap Wakil Pemimpin Redaksi di harian terkemuka tersebut.
Jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak, lanjut Sularto, memberikan keprihatinan tersendiri bagi Romo Mangun. Karena dengan demikian, pendidikan SD hanya mengejar target tertentu.
Dengan menggunakan SD milik Yayasan Kanisius yang sudah berjalan sejak tahun 1964 di Kalitirto, Berbah Sleman, akhimya SD DED pun berdiri dengan nama SD Mangunan. Bahkan, peresmiannya dilakukan oleh Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu.
Proyek idealis
Kalau mau disebut proyek idealis, ya SD Mangunan ini memang proyek idealis. Mungkin juga rekonstruktif seperti yang dikemukakan Dr.Suyanto, staf ahli IKIP Yogyakarta. "Pendidikan dasar itu yang penting bisa merekonstruksi keadaan-keadaan sosial yang melenceng. Pada pendidikan dasar merupakan momentum yang baik untuk menanamkan nilai toleransi, nilai demokratis, obyektif dan menghindari kekerasan," ujar Suyanto.
Dengan semangat rekonstruktif ini, anak anak SD bukan sekadar obyek. "Mereka harus kita bebaskan, mandirikan sehingga terjadi pencorahan," ungkap Doktor lulusan Michigan State, Amerika ini.
Sedangkan Dr. A. Supratiknya, visi Romo Mangun dalam proses belajar mengajar secara teoretis dirumuskan sebagai pelajaran yang diresapi oleh bahasa dan dipayungi kerangka religiositas, dalam suasana cinta kasih dan persaudaraan, Maka, "Guru tidak boleh membodoh-bodohkan siswa. Dan belajar di SD yang terutama bukan untuk berhitung dan menulis," ungkap dosen Universitas Sanata Dharma yang dipercaya menjadi Ketua DED ini.
Visi pendidikan DED, lanjut lulusan S3 Fakultas Psikologi University Of Philippine, dikhususkan untuk orang miskin. Kalau orang miskin itu kemungkinan melanjutkan ke pendidikan menengah atau tinggi, kecil. "Mereka perlu dibekali yang sungguh sungguh esensial baginya. Dari aspek strategis anak-anak inilah ang masuk era pasar bebas. Mereka perlu memiliki pribadi yang kreatif inovatif dan integral. Artinya mampu berpikir alternatif dan tidak mudah bingung, dan tidak mudah kebilangan jati dirinya," ungkap Supratiknya.
Karena sikap yang dipentingkan dalam pendidikan dasar, Romo Mangun pun menghendaki supaya SD tidak dibebani dengan banyak mata pelajaran. Pelajaran baasa, terutama Bahasa Indonesia mendapat porsi paling banyak. "Dengan bahasa anak belajar berpikir jemih, bisa mengungkapkan diri dan utamanya kemampuan mencari informasi dan pengetahuan itu penting bagi anak miskin," ujarnya.
Selain bahasa, lanjut Supratiknya, yang juga penting adalah sejarah, terutama sejarah kehidupan sehari-hari, karena sejarah menjaga pribadi agar tetap integral.
Sementara Dr. Paul Suparno SJ berpendapat yang paling mendasar untuk pendidikan dasar anak adalah kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Jadi bukan banyaknya mata pelajaran. Maka Dr. Paul merasa tepat jika di SD Mangunan ditekankan soal bahasa. Sedangkan pelajaran sikap mendapat perhatian khusus. "Supaya anak dipersiapkan mandiri, berpikir sendiri, kritis, dan berani bertanya. Yang penting bukan banyaknya materi pelajaran tetapi sikap dasar untuk mau mandiri dan maju."
Lulusan Boston University, Amerika ini mengungkapkan apa yang ditempuh Romo Mangun sangat ideal karena menekankan pendidikan sikap. Anak-anak pun belajar dari aktivitas sehari hari. "Misalnya untuk mengenalkan zat pasir, anak-anak pun dibawakan pasir beneran. Jadi mereka tahu dari pengalaman dan merumuskan sendiri apa itu pasir. Pelajaran yang lain . seperti matematika, fisika, dan geografi juga diberikan tetapi yang pokok-pokok saja. Dan idealisme pendidikan dasar ini ingin dituangkan di SD Mangunan oleh Romo Mangun melalui kurikulum, guru, kepala sekolah, dan interaksi dengan masyarakat sekitar.
Sahabat siswa
Mungkin orang lalu berpikir bahwa sekolah Romo Mangun akan sangat berbeda dengan kurikulum pemerintah, atau aneh-aneh karena eksperimental. Kenyataannya, pendidikan di SD Mangunan memang tidak terlalu menyimpang, karena eksperimen sementara hanya diberlakukan untuk kelas 1 hingga.kelas 4 SD.
A.M. Sri Murtilowatil Kepala Sekolah SD Mangunan mengungkapkan pelajaran yang ada disesuaikan dengan kurikulum umum. Hanya cara pengajarannya saja yang berbeda. Misalnya matematika. "Si anak diberikan alat peraga yang sungguh-sungguh mampu mengajak untuk mengerti apa itu matematika, sehingga tidak menjadi momok bagi siswa. Kami juga memberikan pelajaran bahasa Inggris dari kelas 1 hingga kelas 6 sesuai dengan tingkat Perkembangan dan pengetahuan mereka," ungkap Sri Murtilowati.
Sedang metode yang digunakan dalam sekolah, lanjut Sri, adalah pencerapan deiigan pengalaman langsung dilapangan. Dengan pengalaman langsung ini anak didik diharapkan mampu mengeksplorasi ilmu pengelahuan dengan pencarian tanpa syarat. Maka, di sekolah ini ada juga pelajaran bertanya.
Pelajaran ini memang ide Romo Mangun. Dalam pelajaran yang ada setiap hari Jumat ini si anak diberi kesempatan bertanya tentang apa saja, ditulis dalam kertas lalu dikumpulkan. Hari Sabtunya, bersama guru mereka mendiskusikan pertanyaan para siswa. Pertanyaan itu tidak boleh diambil dari buku. Harus murni dari para siswa sendiri.
"Guru diharapkan menjawab kalau bisa. Kalau tidak bisa, guru tidak boleh ngawur menjawab. Mereka bisa mendiskusikan jawaban. Kalau tetap belum ketemu mereka bersama Romo Mangun akan mendiskusikan bersama," papar Sri Murtilowati.
Selain bertanya, juga komunikasi iman sangat menonjol. Tetapi jangan harap ada kata-kata 'Yesus Kristus' atau 'Maria' melintas di sini. Soalnya, di sini tidak ada pendidikan agama. Model pelajarannya dari bacaan dongeng-dongeng, yang kemudian dibahas, sehingga anak bisa mengambil kesimpulan sendiri. Di sekolah ini juga tidak ada doa. Doa diganti dengan menyanyikan mazmur yang memuji Tuhan.
Guru dalam praktiknya di sekolah bukan sebagai dewa yang mahatahu atau pawang yang sedang melatih murid. Para pengajar lebih menjadi fasilitator dan pendamping anak didik. Mereka sebagai sahabat, kakak, dan orangtua anak didik. "Jadi siswa pun tak harus duduk manis mendengarkan guru. Siswa boleh bermain sambil belajar dalam kelas," jelasnya.
Karena fungsinya sebagai sahabat dan kakak ini, guru tidak boleh sangar apalagi killer. Justru guru tampil sebagai pribadi yang menyenangkan. Maka mereka pun dilatih untuk pandai membaca dengan gaya yang benar, mendongeng, atau bercerita, dsb.
Untuk itu, tak segan Romo Mangun mendatangkan 'Raja Monolog' Butet Kertarejasa. Selama 3-4 bulan, dari Desember 1997 hingga.Maret 1998, para guru berlatih bagaimana mendongeng, bermonolog, membaca buku-buku sejarah yang benar dan belajar mendongeng.
Seperti diungkapkan sebelumnya, eksperimen diberikan untuk kelas satu sampai empat SD. Kelas 5 dan 6 SD sementara untuk mempersiapkan Ebtanas. "Hal ini kami lakukan sekadar memenuhi kurikulum saja. Jadi siswa kelas 5 dan 6 cukup di drill pelajaran-peiajaran untuk Ebta dan Ebtanas," tutur Sri.
Karena sekolah ini dikhususkan untuk anak miskin, maka siswa yang diterima di sekolah ini banyak dari panti asuhan, dan anak penduduk setempat. Para siswa juga disediakan susu dan makan siang. Kalau ada siswa yang belum sarapan, mereka juga bisa mendapatkan sarapan di sekolah. Untuk anak-anak yang jauh dari sekolah, mereka ditampung di asrama.
Pendidikan semacam ini ternyata sangat menyenangkan para siswa. Johan Rusdiyanto yang kini kelas 6 SD mengungkapkan rasa senangnya sekolah di situ. "Selain biayanya murah, guru di sini tidak menakutkan sehingga kami tidak takut," kata Johan yang bercita-cita meniadi pemain sepakbola.
Sepeninggal Romo Mangun, banyak orang mempertanyakan kelanjutan SD Mangunan. Yang jelas sekolah ini tetap akan ada sampai tahun 2003 nanti. Dan, bahkan ketika Romo Mangun masih ada, sebenarnya sudah ada perrnintaan dari Semarang, Kalimantan, dan Irian Jaya. Menurut Supratiknya malah Bank Dunia pun ingin mensosialisasikan model ini.
Meski kehilangan figur utama pencetus pendidikan Mangunan, hendaknya model SD Mangunan tetap dipertahankan, demi mencerdaskan bangsa. St. Sularto juga berharap tetap diteruskan. "Mungkin Gereja mengambil alih untuk meneruskan kurikulum yang dilakukan Romo Mangiin ini," harap St. Sularto.
Siapa pun yang meneruskan pendidikan di Mangunan sebenarnya tidak masalah. Yang penting model pendidikan yang mengutamakan sikap kritis anak tidak diubah. Kalau perlu diperluas. Biar anak-anak bisa menikmati masa bermain, sambil bertanya, dan tanpa terasa ... anak-anak telah menjadi cerdas.
Pernah Juara
SD Mangunan didirikan tahun 1994 menggantikan SD Kanisius yang telah berdiri sejak tahun 1964. Letaknva di Kalitirto, Berbah Sleman, sekitar 13 km arah Timur dari Yogyakarta. Koordinasi SD Mangunan di bawah Ranting Dinas P dan K Berbah, Sleman Yogyakarta 55573.
Kompleks sekolah terdiri dari 4 bangunan , 2 diantaranya berdinding anyaman bambu atau gedhek . Semua bangunan milik penduduk yang disewa hingga 2003 dan terletak di antara rumah-rumiah penduduk lain di desa itu.
Jumlah siswa sekarang 69 anak dengan didampingi 6 staf pengajar.. Jumlah ini memang sengaja sedikit agar perkembangan anak bisa dipantau secara maksimal.
Prestasi yang pernah dicapai adalah sebagai juara 1 (1998) se-Kecamatan Kalitirto yang terdiri dairi 27 sekolah peserta. SD Mangunan meraih juara itu dengan rata rata nilai 7,7. Nilai rata-rata untuk Matematika 8.7 dan IPA 7,7.
Chatarina PuramdariLaporan Simon Sudarman dan Y.B. Risdiyanto (Yogyakarta),J.B. Haryono, Budi Santosa Johanes,dibantu Masri Sareb Putra (Jakarta) dan dari berbagai sumber.
File aslinya dapat diakses di:http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1999/03/11/0018.html

Pengembangan Minat Siswa Terhadap Matematika
Oleh : Joko Subando, S.Si*

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan masyarakat modern, matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan masa kini yang meliputi pengetahuan tentang berhitung dan ilmu ukur ruang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pemikiran cara berpikir yang logis, rasional, dan eksak agar dapat menyelesaikan berbagai masalah. Untuk dapat mempelajari dan menguasai matematika dituntut suatu ketelitian dalam pemecahannya agar mendapatkan hasil yang tepat dan arahnya jelas yaitu sesuai dengan penalaran yang benar.
Bagi sebagian murid sekolah, terutama siswa sekolah dasar (SD), mengeluhkan soal pelajaran matematika. Mereka menganggap matematika sebagai pelajaran sulit. Terlebih lagi bila mereka mendapat nilai di bawah rata-rata. Yang punya niat akan lebih tekun mempelajari, kembali hilang semangat.
Celakanya, kalau keadaan ini terus berlanjut hingga ke jenjang pendidikan berikutnya. Maka, sepanjang masa pendidikan mereka menganggap matematika menjadi pelajaran paling menyeramkan.
Padahal, matematika sebenarnya pelajaran mengasyikkan. Apalagi, untuk murid SD. Pada tingkat pendidikan dasar ini pelajaran matematika masih berkenaan dengan berhitung, yang merupakan bagian dari matematika, yakni operasi tambah, kurang, kali, dan bagi. Nah, bagaimana mengembangkan minat siswa pada pelajaran matematika?

Pengembangkan minat siswa terhadap matematika Oleh Para Orang Tua
Pada masyarakat umum, seringkali prestasi anak pada pelajaran matematika dijadikan patokan kecerdasan. Orangtua akan merasa cemas apabila anaknya kurang berprestasi dan tidak memperoleh nilai matematika yang memuaskan. Untuk mengatasinya, orangtua dapat berperan dalam mengembangkan minat anak pada matematika sejak dini, agar pada masa yang akan datang minat tersebut dapat berkembang sesuai dengan perkembangan anak. Anak sebelum memasuki lembaga pendidikan/sekolah membutuhkan waktu yang banyak untuk bermain-main dengan segala sesuatu yang ada di dalam dan di luar rumah sesuai dengan perkembangannya. Penerapan permainan dalam kehidupan sehari-hari seorang anak mengandung konsep-konsep matematika.
Nama bilanganNama bilangan dapat diperkenalkan kepada anak sejak masa bayinya, yaitu sambil mengenakan pakaiannya, dengan berkata, angkat tangannya dulu, dengan aba-aba sa….tu, du…..a, ti……ga, dan seterusnya.
Lambang BilanganLambang bilangan dapat diperkenalkan kepada anak dengan terpusat pada angka 1, 2, dan 3. Diawali dengan menunjukkan angka untuk jumlah tertentu. Biasanya anak akan sangat menyukainya. Kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan beberapa lambang bilangan yang ada pada misalnya nomor rumah, tombol saluran televisi, jam, telepon, kalender, nomor mobil dan lain sebagainya.
Menulis BilanganMenulis bilangan dapat diperkenalkan kepada anak dengan cara menuliskannya dengan jari di tanah, di pasir pantai, di kaca yang berembun atau di kertas kosong yang cukup lebarnya dengan alat bantu pensil yang tebal. Mula-mula anak perlu bimbingan dalam menggerakkan tangannya sampai ia dapat melakukannya sendiri.
Konsep RuangKonsep letak dalam ruang sudah lebih mantap, pada anak usia tiga tahun. Oleh karena itu konsep ruang (spatial ability) ini dapat diperkenalkan kepada anak dengan cara memberikan kesempatan kepadanya untuk bergerak dan bereksplorasi di dalam suatu ruangan agar dengan cara-cara yang menyenangkan seperti memanjat pohon, berlari, bermain ayunan, meluncur, berguling.Konsep ruang ini penting terutama untuk prinsip-prinsip geometri, letak matematis suatu angka (bahwa angka 5 terletak diantara 4 dan 6) dan dalam membaca (karena membedakan bentuk pola sekelompok huruf dengan cepat untuk menangkapnya sebagai kata).
Konsep Satuan UkuranPengukuran sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sehingga ada banyak kata yang digunakan untuk membandingkan sesuatu. Beberapa kata yang sangat berguna adalah besar, lebih besar, dan terbesar.
Konsep WaktuKonsep waktu dapat diperkenalkan kepada anak dengan cara menghubungkan kegiatannya sehari-hari dengan jam atau memasang kalender harian dengan gambar yang disukainya di dalam kamarnya sendiri. Dengan demikian ia akan mengenali konsep konvensional yang menemaninya setiap hari dalam kehidupan
Perbanyak LatihanSemakin sering latihan dilakukan kepada anak maka akan semakin baik. Anak-anak perlu melihat bagaimana orang lain menghitung, lalu mengikutinya dengan sendiri. Menggunakan jari-jari sebagai alat bantu dalam latihan menghitung merupakan salah satu cara untuk membuat lancar dalam matematika.
Sementara itu untuk menunjang aktifitas anak, orang tua dapat mempersiapkan hal-hal sebagai berikut
Melengkapi daftar bacaan mengenai matematikaOrangtua hendaknya melengkapi daftar bacaan tentang matematika yang disusun oleh para ahli yang diterbitkan khusus untuk orangtua.
Menyediakan buku-buku mengenai matematikaOrangtua hendaknya menyediakan buku-buku tentang matematika dengan gambar yang menarik. Tentunya dalam buku-buku yang berisi gambar-gambar tersebut secara eksplisit harus ada konsep-konsep, fakta-fakta, cerita-cerita, dan pengertian dasar matematika.
Menyiapkan alat peraga mengenai matematikaOrangtua hendaknya menyiapkan alat peraga tentang matematika dengan bentuk, warna, dan penyajian yang menarik, seperti benda-benda yang dekat dengan lingkungannya, yaitu kancing, kelereng, bola, potongan balok-balok, lingkaran, empat persegi, serta bentuk-bentuk geometris lainnya. Tentunya pada alat peraga ini melekat konsep-konsep, fakta-fakta, cerita-cerita dan pengertian dasar matematika, karena fungsi alat peraga ini untuk lebih mempermudah penyampaian materi pelajaran pada anak.
Pengembangan minat siswa terhadap matematika oleh Guru
Guru mempunyai peran yang tidak kalah besarnya dalam penembangan minat siswa terhadap matematika. Gaya, metode dan teknik guru dalam mengajar mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menarik minat siswa terhadap matematika.
Metode persepsi merupakan metode yang terbaik dalam memperkenalkan siswa pada konsep-konsep dasar matematika. Metode persepsi yaitu gagasan matematika diberikan dengan cara memberikan permainan yang disukai anak yang dipakai untuk belajar sambil bermain-main. Misal dengan bantuan alat seperti uang logam, kancing pakaian, permen, kue, potongan balok-balokan kayu, dan lain sebagainya. Contohnya mengumpulkan berbagai jenis uang logam yang berukuran besar, kemudian membandingkan mana yang lebih besar dan seterusnya mengurutkan dari yang kecil ke yang besar atau sebaliknya. Kegiatan dalam bentuk melaksanakan rencana, menyortir, memadankan (memasangkan), membandingkan, atau meletakkan sesuatu pada tempatnya adalah sangat penting bagi pengajaran awal.
Mungkin para guru perlu menengok sebentar model permainan matematika yang diperkenal beberapa ahli matematika terkenal, misalnya metode I-Maths. Di Indonesia Metode I-Maths atau Intelijensia Matematika ditawarkan oleh Universal Megabrain Center pimpinan Iwan Sugiarto. Dengan semboyan "young children creative mathematics", lembaga ini menjamin anak-anak berumur 3-6 tahun pintar matematika sekaligus menjadi kreatif.
Metode I-Maths dikenal telah sukses melahirkan anak-anak cerdas dan kreatif sejak dikembangkan di Taiwan, 15 tahun silam oleh seorang ahli matematika, Profesor Lin Kui Yong. Kurikulum ini dijamin tak akan membuat para bocah merengek minta pulang karena memakai alat-alat bantu berupa mainan-mainan berbagai macam bentuk beragam warna. Intinya, I-Maths melatih anak-anak mampu berpikir kreatif melalui matematika dengan cara yang menyenangkan.
Pengembangan Minat Siswa terhadap Matematika oleh Pemerhati Pendidikan
Mengetahui kesenangan siswa akan sedikit membantu dalam menyelesaiakn benang kusut berkaitan dengan rendahnya minat siswa terhadap matematika. Buku cerita seperti komik merupakan salah satu buku yang menarik bagi siswa. Para pemerhati pendidikan mestinya melirik media ini. Penciptaan buku komik dengan membawa konsep konsep yang ada dalam matematika selain menarik minat siswa juga lebih mendekatkan mereka pada matematika sesunggunya.
Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi para pemerhati pendidikan. Sebab sampai saat inimasih minim-kalau tidak mau dikatakan tidak ada-buku komik matematika.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Untuk mengembangkan minat siswa terhadap matematika maka
Para orang tua perlu membiasakan dan mendekatkan anak mereka pada matematika yang sesungguhnya, yakni lewat pengalaman hidup sehari-hari
Para guru perlu mengembangkan model pembelajaran matematika dalam bentuk permainan-permainan.
Para pemerhati pendidikan perlu menerbitkan buku komik bermutu yang menggunakan konsep matematika
Daftar Pustaka

Agung, I Gede & Saptono, 2002, Anglingsari, Matematika Sulit, Tak Mesti Harus Les,
Rizki Takriyanti, Dra.2002 Pengembangan Anak Pada matematika, Kompas 24 Apr 2002
www. Liputan 6.com. 2003. Metode I-Maths Efektif Bagi Anak, Liputan 6 28 Juni 2003

Mencongak dengan Metris13 12 2006
Seorang dosen menemukan metode aritmatika baru yang lebih mudah dancepat. Mengatasi kelemahan Sempoa.
DUA jagoan matematika itu berdiri berjejer di depan papan tulis.Lawan mereka terpampang di depan mata masing-masing: dua buah soalperkalian kuadrat. Mereka harus adu cepat menyelesaikannya denganmetode perhitungan berbeda.
Dalam dua menit, pemenangnya tampak. Gung Kinaptyan, juara kelas VISekolah Dasar Regina Pacis, Bogor, tersenyum sambil mengibaskan sisakapur di tangannya. Teman sekelasnya, Samuel Wirajaya, pemenangkompetisi matematika terbuka tingkat SD se-Jabodetabek, masihberkutat menyelesaikan soal.Kamis pekan lalu, guru mereka, Fransiska Ephi Sutisna, inginmembuktikan bahwa ada cara lain untuk menghitung perkalian selaincara tradisional, yaitu dengan mengalikan dari atas ke bawah, lalumenjumlahkannya, yang sudah puluhan tahun diajarkan di sekolah.Itulah cara yang dipakai Gung, dengan mengurutkan secara mendatardari kiri ke kanan.
Ternyata, kata Ephi, “Metode yang dipakai Gung memang lebih cepat.”Siswa-siswi SD Regina Pacis menyebut metode itu Metris alias MetodeHorisontal. Sudah setahun terakhir Ephi mengajarkan metode mencongakdari kiri ke kanan seperti itu kepada murid-muridnya. Metode baruitu ia pelajari saat kuliah di Fakultas Ilmu Keguruan, UniversitasKatolik Atma Jaya, Jakarta, tahun lalu. Lantaran ia menganggapmetode ini lebih cepat dan mudah dipahami, ia melakukan uji cobapada murid-muridnya.
Metris awalnya digagas oleh Stephanus Ivan Goenawan, 32 tahun, dosenFakultas Teknik Mesin, Unika Atma Jaya, Jakarta. Ivan tergerakmenyusun Metris karena melihat keterbatasan metode lama. “Metode ituhanya mengembangkan kemampuan analisis yang lebih meletakkanlandasan kemampuan numeris dan logika pada siswa,” ujarnya. Alhasil,proses pengajaran dengan metode vertikal hanya mengembangkan kerjaotak kiri saja. Sedangkan Metris bisa berfungsi untuk membentukmental aritmatika yang merangsang kreativitas.
“Kedua metode sebenarnya saling bersinergi kalau diterapkan,” kataIvan. Dengan menggunakan Metris, para siswa tak hanya mempunyaikemampuan numeris dan logika, tapi juga memiliki kepercayaan diridan daya kreativitas tinggi.
Metode yang amat membantu siswa ini adalah buah kegemaran Ivan yangsenang bereksperimen menyelesaikan soal-soal aritmatika sejak dibangku SMP Bruderan, Purworejo, Jawa Tengah. Ketika itu ia kerapmencari jalan sendiri karena tak pernah puas dengan cara gurunyamenjawab soal. Dalam pencarian, ia menemukan banyaknya keteraturanangka dalam setiap soal yang diberikan gurunya. “Sejak itu sayamulai menggunakan segitiga paskal dan notasi pagar, sebagai caramenyelesaikan masalah,” ujarnya.
Ketertarikan pada aritmatika pula yang membuat Ivan memilih kuliahdi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas GadjahMada. Enam tahun lalu, Ivan mulai merumuskan metode arimatikahorizontal secara sistematis. Tonggaknya adalah artikelnya yangditerbitkan di jurnal internal Unika Atma Jaya. Tulisan itu menarikperhatian sejumlah koleganya di Jurusan Matematika FKIP universitastersebut. Ia kemudian diundang untuk berbicara dan mendiskusikanmetode itu.
Metode yang masih bersifat teoretis itu sempat terbengkalai lantaranIvan harus menyelesaikan studi S-2 di Institut Teknologi Bandung. DiBandung pula ia beruntung berjumpa Alexander Agung, 28 tahun, sesamapenggemar matematika. Bersama kawan kuliahnya itu ia menyusun modulpraktis pengajaran Metris. pada 2005, begitu modul itu rampung, Ivandan Alexander menggelar pelatihan bagi para guru SD dan SMP.Sebelumnya, mereka sempat mempresentasikan metode tersebut kesejumlah dosen di FMIPA UI. Hasilnya? “Metode itu diterima sebagaisebuah metode pembelajaran baru yang menarik untuk aritmatika,” kataAlexander yang juga dosen di STEKPI, Jakarta selatan.
Melalui situs http://sigmetris.com , kedua sahabat itumemasyarakatkan temuan tersebut. Mereka juga menggelar sejumlahpelatihan bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA. Sejauh ini, metode itubaru diterapkan di SD Regina Pacis, Bogor. Beberapa sekolah lainsegera menyusul setelah pada Desember ini mereka menggelar pelatihanuntuk guru-guru SD. “Tahun depan baru direncanakan kursus bagi anak-anak,” ujar Alexander.
Sekilas metode ini mirip Sempoa, metode berhitung kuno yangmenggunakan alat hitung dari Cina. Sempoa termasuk populer diIndonesia karena mengandalkan kecepatan berhitung. MenurutAlexander, Sempoa dan Metris memiliki kesamaan, yaitu mencapai tahapperhitungan mental aritmatika dan mengandalkan konsep asosiasiposisi. Bedanya, dalam Metris konsep asosiasi posisi dipelajarisecara langsung dengan mengenalkan konsep asosiasi posisi dengannotasi pagar kepada para siswanya. “Sempoa memiliki alur sendiri dantak sama dengan pendidikan sekolah, sementara Metris disesuaikandengan program pelajaran sekolah,” ujarnya.
Perbedaan yang lain, menurut Alex, Metris membuat anak bisamenjelaskan langkah yang diambil dengan memakai simbol matematikaseperti yang digunakan di sekolah pada umumnya. Sedangkan Sempoatidak. Sempoa, menurut Ivan, membuat anak cenderung individual danlebih berorientasi pada hasil ketimbang proses.
Siswa yang ikut Sempoa kerap tak bisa menjelaskan proses perhitunganyang dilakukannya kepada orang lain. Penyebabnya lantaran dia tidakmemakai simbol matematika yang diformalkan. Alat peraga berupa manik-manik biasanya cuma bersifat sementara. “Dalam prakteknya, ia harusmemvisualisasikannya dalam imajinasi, dan tak semua anak bisaseperti itu,” kata Ivan.
Fakta ini kerap menimbulkan kesalahpahaman. Orang tua seringmenyalahkan guru karena menilai jawaban anaknya salah. Guru biasanyaberkukuh karena tidak tahu apakah jawaban itu buah pikir si anakatau hasil menyontek. Soalnya, si anak tak bisa menjelaskanprosesnya. Maka, kata Ivan, “Penggunaan Metris bisa menjadi jembatanantara Sempoa dan metode vertikal yang dikembangkan sekolah.”
Di SD Regina Pacis, percobaan menggunakan Metris sejauh ini berhasilmengubah citra matema-tika yang menyeramkan. Dalam percobaan, paramurid awalnya diminta menyelesaikan soal aritmatika dasar denganmetode lama, yaitu perhitungan dari atas ke bawah. Setelah itu,mereka diberi soal yang harus diselesaikan dengan Metris. Ternyatapara murid bisa mengerjakan soal dengan lebih cepat dan akurat.Secara perlahan nilai mereka pun membaik. Tak mengherankan bilamereka kini menjadi lebih antusias terhadap matematika. “Merekamenyukainya karena lebih cepat dan mudah,” ujar Ephi.
Beberapa siswa yang dulu fobia alias takut terhadap pelajaranmatematika kini berbalik. Maria Yohana salah satunya. Nona kecil inidulu selalu grogi bila pelajaran matematika tiba. Setiap kali adaulangan matematika dadakan, nilainya tak lebih dari angka 6. Kini,semua itu tinggal cerita. Nilai 10 telah biasa ia terima. Mariabahkan sudah berani mengacungkan tangan, menawarkan diri untuk majuke depan kelas untuk mengerjakan soal yang diberikan guru.
Siswa yang berbakat matematika kini juga semakin kreatifmenyelesaikan soal. Beberapa anak menciptakan rumus-rumus sendiriuntuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Begitu sukanya merekapada matematika sampai-sampai meminta guru mendirikan klubmatematika di sekolah. “Saya membiarkan mereka berkreasimenyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri. Asalkan logikaberhitungnya benar,” ujar Ephi.
Widiarsi Agustina dan Arif Fadillah

No comments: